Setetes Cinta Alfa

Nadira
    Aku ingat betul kejadian belasan  tahun lalu, ketika pertama kalinya  aku melihat kristal bening keluar dari dua pasang bola mata orang yang teramat mencintaiku. Ayah dan bunda, aku tak tau apa yang terjadi padaku hingga membuat mereka menangis dan  memeluku erat. “ Kamu anak yang kuat, bunda yakin kamu bisa bertahan. Vonis dokter itu pasti salah. “ ucap bunda dengan isak tangis yang tak bisa ia bendung. Saat itu usiaku baru menginjak lima tahun, masih balita. Aku tak tau apa itu thalasemia, dokter bilang aku menderita thalasemia dan hal itu membuat kedua orangtuaku menangis. “ Ra, giliranmu tuh. “

Alfa
    “ Ra, giliranmu tuh. “ Ucapku.
    “ Kamu gak mau nemenin aku masuk?“ tanyanya dengan senyum “ Atau siapa tau kamu mau disuntik juga? “ ujarnya menggodaku.
    “ Hm. “ Aku tersenyum kecut. Sial. Selalu saja begitu. Nadira selalu meledekku karena ketakutanku pada jarum suntik.

    Seperti biasa kali ini aku menemani Nadira kerumah sakit, ia menderita thalasemia penyakit yang sampai sekarang mungkin belum ada obatnya. Kata dokter penderita thalasemia itu ga bisa memproduksi darah sendiri, itulah sebabnya setiap bulan Nadhira harus menerima transfusi darah. “ Al, yuk balik. “ ucap Nadira mengagetkanku.

Nadira
    Thalasemia, penyakit itu membuat ruang gerakku terbatasi. Aku tak bisa bermain selayaknya anak – anak seusiaku saat itu. Masa kecil aku habiskan dengan membaca komik dan buku doneng. Aku tak mempunyai banyak teman saat itu. Alfa, dia orang pertama yang mau menjadi temanku. Aku mengenalnya saat duduk dibangku kelas delapan smp. Mengingat tentang Alfa aku jadi teringat akan kejadian yang membuatku dan Alfa menjadi dekat. Kejadian  konyol yang tak pernah bisa aku lupakan.
    “ Hi, “ ujar Alfa menyapaku.
    Aku hanya tersenyum, bagiku komik conan yang kubaca itu lebih menarik dari pada sapaan cowok tengil hiperaktif  yang suka ngegodain semua cewe dikelas.
    “ Kamu sakit ya? “ tanyanya “ Kok kamu diem? “
    Hih, apa – apaan nih orang sok care banget. Grutuku dalam hati.
    “ Oh, “ katanya “ Kamu bisu ya ternyata. “ ujarnya lagi.
    “ Apa sih? Aku lagi baca komik. Ga usah ganggu deh. Godain aja tuh cewe – cewe yang biasa kamu godain. Jangan godain aku deh. “
    “ Jangan godain kamu? Siapa juga yang mau godain kamu. Orang aku tuh sebenernya cuman pengen tau kamu baca komik apaan. Dan ternyata conan, “ ujarnya tersenyum “ Aku juga suka conan loh. “

    Jleb. Perkataannya barusan benar – benar membuat wajahku masam. Sepertinya saat ini urat maluku semakin panjang saja. “ Iya ini komik conan. Kenapa emang?! “ tanyaku masih dengan nada yang sama. Ketus.
    “ Kamu koleksi komik conan? Kapan – kapan aku kerumahmu ya, aku mau minjem komik conan boleh kan? “ pintanya. “ Aku suka komik juga, tapi aku ga koleksi conan. “
    “ Hm, ya. “ ujarku sedikit ragu.
Conan. Komik yang membuat Alfa semakin sering main kerumahku. Komik yang akhrirnya mendekatkanku dengannya. Tak kenal, maka tak sayang pepatah itu memang benar adanya. Alfa baik, sopan dan menyenangkan tak seperti dugaanku, dia tak menyebalkan.
“ Gambarmu makin bagus aja Ra, “ ucap Alfa memuji karyaku“ Eh, itu aku? “
“ Iya. “ jawabku tersenyum.

Alfa
    Aku duduk di bangku taman menyebelahi Nadira, melihat dia yang sedang asik menarikan penanya di atas kertas gambar berukuran A4. Kali ini aku tersenyum, ada sebaris rasa bahagia yang tiba – tiba tercipta dihatiku. Nadira meukis wajahku untuk pertama kalinya. Aku tau dia pandai melukis sejak aku mengenalnya, aku sering memintanya untuk melukis wajahku namun dia selalu menolaknya.

    “ Tumben kamu ngelukis wajahku tanpa aku minta. “
    “ Itung- itung itu kenang – kenangan dari aku buat kamu. “
    “ Emang kamu mau pergi kemana? Pindah rumah? Terus kuliahnya? “ ujarku dengan serentet pertanyaan.
    “ Al, dulu waktu aku kecil dokter pernah bilang usiaku ga lebih dari lima belas tahun. Dan jika aku beruntung aku hanya bisa hidup samapi delapan belas tahun. “ ujar Nadira dengan air mata yang mulai menetes. “ Lima belas tahun sudah aku jalani, dan sekarang usiaku hampir delapan belas tahun. “
    “ Dokter itu bukan Tuhan. Kamu pasti bisa hidup lebih lama. Pasti ada cara buat nyembuhin penyakitmu Ra. Oprasi cangkok sumsum tulang belakang? “
    “ Terlalu beresiko, aku ga berani Al. Itu bisa membahayakan orang yang nanti akan mendonorkan sumsumnya untukku. “
    “ Kan masih bisa transfusi darah. “
    “ Iya Al, aku tau, tapi sepertinya tubuhku juga sudah tdak kuat lagi. Transfusi darah itu juga menyebabkan timbunan zat besi di tubuhku semakin banyak. Lagi pula sekarang cari pendonor itu ga gampang Al, “ Kata Nadira menjelaskan. “ Kemaren aja darah O di rumah sakit hampir habis, kalau aku terlambat kerumah sakit lima belas menit aja. Mungkin, aku ga dapet itu darah. “
    “ Udah, kamu ga usah sedih. Aku ga suka liat kamu sedih. Kalo darah di rumah sakit abis, aku bisa kasih darah aku buat kamu. Golongan darah kita samakan? “ ujarku tersenyum.
     “ Ga usah bercanda. Orang kaya kamu yang liat jarum suntik aja pucet mau donor darah? “ uajar Nadira sambil mengusap matanya.
    “ Jangan ngeledek kamu. Aku serius juga. “
    “ Udahlah, aku juga ga bakal tega kali liat kamu harus nangis kejer kalo liat jarum suntik, haha “ kata Nadira dengan tawa “ Ini buat kamu. “ ucapnya seraya memberikan lukisan untukku. Lukisan wajahku yang sedang tersenyum.

Nadira
    Sebulan berlalu, aku kembali kerumah sakit untuk melakukan transfusi darah. Seperti biasa aku ditemani oleh Alfa sahabatku. Sebenarnya saat itu kami sudah datang keruah sakit, tapi karena darah golongan O habis maka kami terpaksa pulang. Aku terpaksa menunggu selama beberapa hari. Dan setelah seminggu akhirnya ada juga orang yang mau mendonorkan darahnya untukku.

    “ Kok kamu ikut masuk Al? “ tanyaku ketika tau Al mengekoriku masuk keruang transfusi. “ Keluar sanah, aku ga mau liat km pinsan lagi kaya waktu sma dulu. “
    “ Apaan si Ra, ga usah ngeledek gitu deh. Suka suka aku donk kalo aku mau masuk. “
    “ Okelah terserah. Kalo kamu pinsan aku ngga tanggungjawab ya. “
    “ Iyah. “

    Aku tidur di ranjang, menunggu dokter dan suster memersiapkan alat – alat untuk transfusi. Kuputar bola mataku, kucari sosok Alfa. Harusnya dia ada disini menemaniku tapi mana dia? Gumamku. Kembali kuputar bola mataku, dan kali ini pandanganku terhenti pada seseorang yang terbaring di ranjang sebelah kiriku. Orang itu yang akan memberikan darahnya untukku. Tangan kirinya memegang erat bantal yang dia letakkan di atas kepalanya. Pendonor itu, Alfa.

Alfa
    Sejak pertama kali aku mengal Nadira, aku merasa ada sesuatu yang sepesial darinya. Ketertarikanku pada komik conan sebenarnya hanyalah sebuah cara agar aku bisa lebih dekat dengannya. Dia bukan gadis biasa menurutku terlebih dia sering asik dengan dunianya sendiri dan tak peduli dengan sekalilingnya, mendekatinya dengan cara biasa itu sulit. Aku sengaja berlagak tengil saat smp hanya agar dia memperhatikanku atau setidaknya ingat dan tau namaku. Konyol memang, tapi hal ini berhasil membuatku dekat dengannya.

    Nadira, aku menyayanginya atau bahkan mungkin mencintainya. Rasa itu ada sejak smp hingga sekarang. Aku ingin terus melihat senyum dibibirnya, aku ingin terus mendengar suaranya, aku ingin menjaganya, melindunginya dan menguatkannya. Aku takut dengan jarum, tapi aku lebih takut kehilangan orang yang aku sayang, karena itulah aku tak mau membuatnya menunggu terlalu lama. Aku harus bisa melawan ketakutanku, kuberikan darahku untuk seulas senyum di bibir manisnya. Karena aku mencintaimu Ra.


Created By : Analis Hasby 



0 komentar: