Ayah, aku...


“Rama! Ayah bilang berhenti!” teriak Pak Andi kepada anaknya. Sang anak yang namanya dipanggil tetap melanjutkan langkahnya. “Rama, dengarkan ayah. Ayah bilang berhenti!” kali ini suara Pak Andi lebih menggelegar dari sebelumnya.

Rama mau tak mau akhirnya berhenti juga. Dia berhenti tepat di depan pintu ruang tamu yang tertutup. Perlahan tangan Rama bergerak untuk membuka pintu itu. “tutup kembali pintu itu dan kembali ke kamarmu” kata Pak Andi tepat sebelum pintu itu benar-benar terbuka.

Rama yang sebelumnya menghadap ke pintu kini berbalik dan memandang wajah kedua orang tuanya. Rama mendapati ayahnya sedang memandang tajam kearahnya. Rama balik menatap ayahnya. Tidak ada raut ketakutan di wajah Rama.

Bu Andi yang merupakan ibu dari Rama menatap cemas pada dua laki-laki yang sedang saling menatap tersebut. Beliau takut terjadi sesuatu yang, mungkin, akan menyebabkan perpecahan dalam keluarganya.
“ck” Rama berdecak kesal. “Ayah mau ngomong apa? Klo engga ada, aku pergi sekarang nih” Rama sudah berbalik ketika Pak Andi memanggil namanya, “Rama...” Rama memutar kembali tubuhnya mengahadap orang tuanya.

“Apalagi, Yah?” dia bertanya dalam ketidaksukaan.
“Kembali ke kamarmu sekarang juga. Belajar lah layaknya seorang pelajar” kata Pak Andi.
“Ahh ayah, ini sudah jam sembilan. Terlalu malam untuk belajar” keluh Rama.
“Dan ini juga terlalu malam untuk bermain diluar bersama teman-temanmu” ucap Pak Andi tenang. “cepat kembali ke kamarmu dan belajar” lanjutnya lagi.
“Ck!, ayah ngga asik nih. Masa setiap hari harus belajar. Bosen dong, yah” keluh Rama. “sekali ini aja ya, Yah? Pliiis..” Rama memohon.
“tapi ini sudah untuk yang ke-sekian kalinya, Rama..” ucap Pak Andi.
“ayo doang, Yaaaah” Rama masih merengek. “boleh. Tapi tidak malam ini. Perasaan ayah tidak enak. Takut hal buruk akan terjadi” jelas pak Andi.
“itu cuma perasaan ayah aja. Makanya jangan dirasa-rasa, Yah” elak Rama.
“ naaaaak..” panggil ibunya lembut. Bu Andi memberikan tatapan  yang seolah mengatakan untuk menuruti apa kata ayahnya, kepada Rama.
“ibu kok malah belain ayah, siih? Ibu sekarang udah kayak ayah ya? Udah ngga sayang Rama?” entah mendapat pikiran dari mana Rama bisa mengeluarakan pertanyaan macam itu.

“Rama! Jaga mulutmu, nak.” Sang ayah nampaknya tidak suka dengan perkataan Rama. “emang nyatanya begitu kan?” Rama menanggapi dengan santai teguran dari ayahnya tersebut. Ibunya pun terkejut mendengar apa yang Rama katakan.
“Rama kamu tidak boleh berkata begitu, nak. Justru karena ayah sama ibu sayang kamu makanya kami seperti ini” terang ibunya. “Alaaaaah, ibu kenapa jadi gini sih ke Rama. Biasanya juga belain Rama” protes Rama.
“kembali ke kamarmu sekarang, Rama!” suara Pak Andi kembali terdengar. Ada sedikit amarah dalam nada suaranya. Namun, bukannya kembali ke kamarnya, Rama melangkahkan kakinya ke luar rumah mendekati mobil temannya yang sudah menunggu sedari tadi.
“Rama kembali!” ayahnya berteriak. “Rama!”. Pak Andi menhela nafas sebentar sebelum melanjutkan, “ingat Rama! Jangan pernah minta bantuan ayah kalau terjadi apa-apa denganmu!” ancam Pak Andi, berharap agar Rama kembali setelah mendengar ancamannya.
“ck! Siapa peduli” desis Rama, kemudian melanjutkan jalannya. “Rama kembali!” tak didengarkannya teriakkan sang ayah kembali memanggil-manggil namanya.

“sudahlah lah, pak. Biarkan saja. Dia sudah kelas 2 SMA. Sudah besar. Toh dia laki-laki, bisa jaga dirinya sendiri” ujar Bu Andi berusaha untuk menenangkan suaminya. “kau terlalu memanjakannya, Bu” ucap Pak Andi seraya meranjak meninggalkan tempat itu.
Di mobil yang Rama dan teman-temannya tumpangi, terjadi percakapan tentang pertengkaran Rama dan ayahnya.
“Ram, tadi aku dengar ayah kamu teriak-teriak. Ada apa, sih?” tanya Kian, teman satu sekolah sekaligus teman main Rama.
“biasa lah. Aku ngga boleh pergi malam ini. Katanya perasaanya ngga enak. Takut terjadi hal-hal buruk gitu” jelas Rama. “harusnya tadi dengerin kata ayah kamu, Ram. Dosa loh, Ram, ngebiarin orang tua teriak karena kita begitu” saran Heru, teman Rama yang satunya.
“nurutin kata ayah dan ngga ikut seneng-seneng main sama kalian dan temen-temen yang lain? Rugi!” kata Rama mantap. “ya jaga-jaga aja, Ram. Siapa tau perasaan ayah kamu benar tentang hal-hal buruk itu.” Kata Kian.
“doain aku, nih?” tanya Rama malas. “aah, udahan ah bahas ayah aku. Kalian kok jadi belain dia sih?” kesal Rama.
“jangan gitu, Ram. Harusnya seneng, Ram punya ayah yang perhatian sama kamu. Jarang loh ada ayah yang begitu. Bersyukur, Ram” nasihat Heru. Rama hanya diam menanggapi omongan temannya. Bukan bingung mau menanggapi apa , tapi sedang tidak ingin membahas  masalah itu.

Tapi kemudian Rama terngiang kata temannya yang mengharuskan dia senang terhadap  perhatian ayahnya.
Ya. Rama memang senang. Tapi itu dulu. Dulu sekali waktu Rama masih kecil. Masih manja. Masih polos. Masih suka dicium. Masih suka digendong. Masih belum mengerti apa-apa. Masih membutuhkan pembimbing untuk belajar mengendarai sepeda. Masih membutuhkan penjelasan tentang ini-itu yang tidak diketahuinya, dan ayahnya lah yang akan memberi, mengajarkan apa yang diminta dan yang tidak diketahui oleh Rama. Ayah yang berusaha memberi dan mengajarkan Rama untuk menjadi yang terbaik. Itu dulu. Dulu sekali. Entah dulunya dulu kapan, Rama pun tidak ingat.

Sekarang Rama sudah berubah. Sudah besar. Sudah kelas 2 SMA. Sudah merasa benar. Sudah merasa mampu melakukan apa yang menurutnya baik tanpa perlu dituntun dan diajari lagi oleh ayahnya. Rama bisa sendiri. Rama yang sudah merasa malu ketika diantar ke sekolah oleh ayahnya. Rama yang mulai merasa risih ketika bibir ayahnya yang kasar dan ditumbuhi kumis, memberi kecupan tanda sayang di pipinya yang mulus. Dari risih itulah mulai muncul rasa tidak suka terhadap ayahnya. Rasa tidak suka yang membuat Rama melupakan semua yang telah dilakukan ayahnya dulu. Dulu waktu Rama masih kecil.

“haaah” Rama menghembuskan nafasnya keras. Menghilangkan  penat di dalam otaknya karena sang ayah. “kenapa, Ram?” tanya Ari, teman yang duduk disebelah Rama, yang sedari tadi hanya diam.
“ngga papa.” Jawabnya singkat, yang membuat teman-temannya memandang ke arahnya dengan tatapan aneh.
“eh, udah nyampe belum?” Rama bertanya, mencoba mengalihkan perhatian teman-temannya. “udah dari tadi kali” kata Kian, “turun, yuk!” ajaknya. Mereka semua pun turun dari mobil Kian. Mereka menuju ke tempat biasa mereka duduk.

Baru beberapa menit duduk, Rama ijin untuk ke toilet kepada teman-temannya. Di tenga perjalanannya ke toilet Rama ditabrak seseorang. “maaf, mas. Maaf” kata orang yang menabraknya. Rama hanya mengangguk menanggapi permintaan maaf orang yang menabraknya itu.
“aneh banget sih ini orang. Pakainnya tertutup banget. Udah gitu malem-malem pake kacamata hitam lagi” komentar Rama dalam hati.

Kemudian sebelum pergi, orang itu memeluk Rama. “sebagai tanda maaf” katanya, kemudian pergi meninggalkan Rama. “benar-benar aneh” gerutu Rama.
Kemudian Rama berjalan kembali menuju toilet. Rama sama sekali tidak tahu ada benda yang dimasukkan kedalam saku jaketnya oleh orang yang menabrak dan memeluknya tadi. Dia juga tidak tau apa yang akan terjadi kepadanya selanjutnya. Suatu hal yang terjadi karena keberadaan benda tersebut.

Toilet yang Rama datangi lumayan ramai. Harus antri dulu. Rama ada di barisan ketiga. Di depannya ada orang yang sedang menelfon. Dibelakangnya masih ada beberapa yang antri. “toilet laku juga” pikirnya.
“Hah apah?!” orang yang barisnya di depan Rama, yang sedang menelfon tiba-tiba berteriak. Membuat Rama kaget. “Razia? Malam ini? Iya, iya”  kemudian orang itu pergi, sehingga kini Rama ada dibarisan paling depan, karena yang tadi ada di barisan pertama sudah masuk ke dalam.
“Ck! Pasti pengedar. Pantes takut” kata Rama mencibir. Akhirnya giliran Rama masuk ke toilet.
Setelah merampungkan kegiatannya di dalam toilet, Rama pun keluar. Rama terkejut ketika mendapati tempat itu sepi. Antrian yang tadi tersisa kini hilang. Hanya ada Rama disitu. Rama memutuskan untuk kembali ke tempat dia dan teman-temannya tadi berada.

Di tengah perjalanannya, terjadi keributan. Banyak anak muda berlari kesana kemari. Terlihat juga ada beberapa polisi disitu. “pasti razia narkoba nih. Dasar.” pikir Rama.
Rama baru saja akan melanjutkan jalannya ketika ada seorang polisi yang menahan tangannya. “biarkan saya memeriksa anda!” kata polisi itu. “buat apa diperiksa, Pak. Saya ngga bawa apa-apa.” kata Rama dengan percaya dirinya.

Sementara si pak polisi sudah mulai menggeledah barang-barang Rama. Polisi itu berhenti di saku jaket Rama. Dia menemukan sebuah bungkusan yang bahkan Rama tidak tau bungkusan apa itu.
“a a ap apa itu, Pak?” Rama tergeragap. “Ikut saya ke kantor polisi!” kata polisi itu tegas. “tapi ta tata tapi itu bukan punya saya, pak” kata Rama. “ tapi ini ada disaku jaket anda. Cepat ikut saya!” kata polisi itu seraya menyeret Rama untuk mengikutinya.
“pak! Ini beneran bukan milik saya, Pak. Klo ngga percaya bapak bisa tanya temen-temen saya kok. Beneran pak” Rama mencoba menjelaskan. “sudah. Penjelasannya nanti saja di kantor polisi. Cepat ikut saya!” polisi itu semakin keras menyeret Rama.

Sementara itu, teman-teman Rama bingung mencari Rama yang tak kunjung kembali sejak ijin untuk ke toilet tadi. “Rama mana nih, lama banget.” Kata Kian seraya mengedarkan pandangannya mencari sosok yang dimaksud. Sementara dua temannya hanya mengangkat bahu pertanda tidak tahu.
 Heru baru saja akan menghubungi nomor hp Rama ketika didengarnya Kian berteriak, “eh itu Rama! Itu Rama!” “Mana? Mana?” tanya Ari dan Heru bersamaan. “ itu tuh yang sama pak polisi!” Kian menunjuk ke arah dimana dia melihat Rama dan pak polisi tadi.
“ayo ikutin. Ayo!” ajak Ari. Mereka pun bergegas masuk mobil dan mengikuti ke mana Rama akan dibawa.

Sesampainya di kantor polisi, Rama langsung dimasukkan ke dalam sel. Dia tidak dibiarkan untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu. Teman-temannya yang juga sudah sampai, langsung menuju ke tempat dimana Rama ditahan.
“Ram, kenapa bisa ada disini? Gimana ceritanya? Kamu emang habis ngapain?” Kian langsung memberondong Rama dengan pertanyaannya. “tenang, bro! Sabar..” kata Heru menasihati.
Sementara itu, Rama yang mendapat pertanyaan itu hanya bisa diam dan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban bahwa dia juga tidak tahu apa-apa.
 “Ram, ayah sama ibu kamu udah tau tentang ini?” tanya Ari memecah keheningan. Rama hanya menggeleng.
“harusnya mereka tau, Ram. Siapa tau mereka bisa bantu kamu” kata Kian. Teman-teman yang lain menganggukan kepalanya, menyetujui kata-kata Kian. “percuma. Ayah udah ngga mau bantu aku. Ayah udah benci sama aku” jawab Rama dengan lemas.
“tau dari mana, Ram? Orang belum dicoba kok udah ngomong gitu” Heru menimpali. “Ayah tadi ngomong gitu ke aku, Ru. Waktu aku mau keluar dari rumah”  kata Rama berat.
“adik-adik, sudah malam. Lebih baik kalian pulang. Klo ingin menjenguk teman kalian, besok lagi saja. Masih banyak waktu” kata seorang polisi yang menhampiri mereka.
“tapi, Pak...” “udah. Pulang aja. Aku ngga apa-apa kok” ucapan Ari tidak selesai karena langsung dipotong oleh Rama. Akhirnya, dengan terpaksa mereka pulang meninggalkan Rama.

Setelah ditinggal teman-temannya, Rama menempatkan dirinya dipojokkan sel yang gelap. Ada beberapa penghuni sel yang berada disitu. Mereka memandangi Rama yang, katakanlah, penghuni baru di sel itu.
Rama berdiri bersandar pada tembok. Tubuh Rama meluruh ke bawah. Terduduk di lantai yanng dingin. Pundaknya bergetar seakan.... ya! Rama menangis. Menyesali semua yang terjadi. Ia teringat perkataan ayahnya. Semakin lama isakannya semakin keras. Terdengar para penghuni sel yang lain membicarakannya yang sedang menangis.

“dasar cengeng!” kata seorang tahanan. Rama tak peduli. Apapun yang dikatakan orang-orang itu, Rama tak peduli. Yang ada dipikirannya hanyalah ayahnya dan penyesalan.
“ayah...” panggil Rama sambil terisak. “ayaaaah” panggilnya lagi. Berulang kali  Rama seperti itu.
Berbagai kejadian semasa dia kecil terlintas dikepalanya. Masa dimana dia masih sangat suka dimanja, diperhatikan oleh ayahnya tanpa mengenal kata risih. Kejadian-kejadian itu mengingatkan betapa sayangnya sang ayah kepadanya. Betapa sang ayah berusaha keras mengajarkan ia agar menjadi yang terbaik, memberikan yang semua hal-hal terindah yang dimiliki sang ayah.

           Aku hanya memanggilmu ayah..
            Disaat ku kehilangan arah
            Aku hanya mengingatmu ayah..
            Jika aku tlah jauh darimu

Sebuah lirik lagu yang diam-diam selalu didengarkan oleh Rama melintas di kepalanya. Ya. Lagu tersebut begitu cocok untuk menggambarkan keadaan Rama saat ini.
            “Ayah... Ayah...” hanya itu yang bisa dilakukan Rama. Berulang kali memanggil nama ayahnya. Berharap ayahnya akan muncul didepannya sekarang juga. Entah bagaimana caranya.
            Penyesalan yang begitu besar tumbuh dalam hati Rama. Banyak kata pengandaian yang dipikirkan Rama tentang tingkah lakunya kepada sang ayah. Rama menangis dalam keheningan. Seandainya bisa, mungkin dia sudah meraung-raung. Namun sayang, tenaganya habis digerogoti oleh penyesalan.

“Rama....” sebuah suara berat terdengar di telinga Rama. Suara yang akhir-akhir ini dibenci, namun sesungguhnya begitu dirindukan oleh Rama.
“Rama...” suara itu kembali terdengar. Entah, mungkin karena berpikiran itu halusinasi atau apa, sehingga Rama mengabaikan suara itu.
“Ram...” ini yang ketiga kalinya. Membuat Rama akhirnya menoleh ke arah saura itu berasal.
Betapa kagetnya Rama, mendapati sosok yang beberapa detik lalu terus dipikirkannya, kini berdiri tepat didepan ruangan dia ditahan. “A a ayah” tergagap dia memanggil orang itu. Sang ayah tersenyum menanggapi panggilan Rama.
“ayah tau dari mana aku ada disini?” tanyanya masih tak percaya. “dari teman-teman kamu” jawab sang ayah.

Kemudian seorang polisi datang dan membuka pintu ruang tahanan itu. Memerintah Rama  agar keluar. Rama menurut. Dia berjalan pelan ke luar sel. Polisi tersebut pergi meninggalkan dua orang ayah dan anak itu.
Tanpa berkata apa-apa, Rama langsung memeluk tubuh ayahnya. Tubuh yang dulu selalu menggendongnya kemanapun dia mau.

“Ayah, aku....” Rama tak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Air matanya lebih dulu keluar. Rama menangis sesenggukan dalam pelukan ayahnya. Sang ayah memberikan elusan pada punggung putranya. Penuh kasih. Menenangkan.
“Ayah, aku.... minta maaf” akhirnya Rama mengucapkan kata itu. Kata yang sebenarnya mudah, tapi jadi sulit ketika Rama yang mengucapkan.
Ayahnya tersenyum. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, nak.” Kata sang ayah. “tapi, yah...” “ssst. Tidak ada!” kata ayahnya tegas yang kemudian memeluknya. Rama mengangguk dan tersenyum.  Kemudian balik memeluk ayahnya lebih erat lagi. Seakan tak ada hari esok.
Sang ayah tersenyum dalam keheningan. Rama yang dulu telah kembali. Rama yang suka dipeluk dan dimanja olehnya. Meskipun, mungkin hanya untuk malam ini. Siapa yang tau? J

Lagu : Seventeen - Ayah
Engkaulah nafasku, yang menjaga didalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
            Aku hanya memanggilmu ayah... Disaat ku kehilangan arah
            Aku hanya mengingatmu ayah... Jika aku tlah jauh darimu  
Kau tak pernah lelah sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
            Aku hanya memanggilmu ayah..... Disaat ku kehilangan arah
            Aku hanya mengingatmu ayah.... Jika aku tlah jauh darimu



Karya : Tuti Septiani Sutormini ( https://www.facebook.com/tuti.septiani.98?fref=ts )


           

0 komentar: